Senin, 12 Mei 2008

R S P D SUATU KETIKA

R S P D SUATU KETIKA


sebingkai wajah belum usai kugambar agar hangat dalam dinginmu

rinduku gugur terbang menggelandang rspd suatu ketika

menyusuri tebing-tebing curam ada gadis mampu merontokkan

menggapai-gapai awang-awang jantung-hatiku


rspd suatu ketika 8 mei 2001

ada sosok wajah lelah

melilit-lilit kulitku

mengerat-erat hatiku

hai…

seseorang yang amat diam

njinjinglah bola matahari

dari lautan luas lepas

menuju langit biru

seseorang yang amat sunyi

bakarlah rembulan malam ini

dengan bola mataharimu

SUATU SORE DI BATAS KOTA

SUATU SORE DI BATAS KOTA


siapakah dia tercenung di bawah akasia

raut kusut terurai air mata

angin sore di batas kota

menyingkap luka-luka lama

gadis, tak adakah pria yang kau cinta

selain sebongkah dendam yang kini jadi bara

sebab aku tak yakin, kau satu-satunya

gadis yang setia

sekarang usaplah air matamu

simpan dukamu

aku terlalu lemah melindungimu

paling tidak itu pendapatmu dulu

aku terlalu bodoh menjawab pertanyaan ortumu

ingat ! ? itu pendapatmu dulu

kini aku tahu

siapakah tercenung di bawah akasia

dengan raut kusut terurai air mata

berkemas dan pulanglah

terus saja ke utara jangan ganti arah

aku hendak ke selatan

bersama sahabatku yang abadi

sepi


8 mei 2001

SORE DI TBRS

SORE DI TBRS


Maaf…aku lupa

arah mana matahari tenggelam

sebab sebaris puisi membelengguku

roh para seniman gentayangan

menohok uluhatiku


wewe tbrs sore itu

ngawe-ngawe

seraya membaca mantra puitisnya

hamper saja aku kerasukan rohnya

langkahku terhuyung

mataku terbelalak

tanganku gemetaran

rinduku menggunung

lalu…leleh…


sore di tbrs

aku lupa punguti rindu-rinduku

sore di tbrs

begini sia-sia


26 agustus 2002




SEMALAM DI JEPARA

SEMALAM DI JEPARA


sesore tadi

kupunguti kembali

sisa-sisa rindu

di sepanjang jalan pemuda

sekitar masjid pengkol

alun-alun jepara


demikian kumuh tak terjamah


Kaukah yang menyeretku

ke pantai bandengan

untuk sekedar mendengar

decih ombak di lautMu


29 juli 2000

P U I S I

Tentang Perjalanan

P U I S I


amis nanah

dari luka purba

meleleh indah


ubun di kepala

mengeras pecah

muntah katakata


gila

siasia

Doa


5 Mei 200

Tentang Perjalanan

untuk: Tris

sahabat di Kudus


keinginan menggurita dilangkahmu

langkah limbung bawah mendung

pikul sendiri gawanmu

keranjang demi keranjang

tercecer terburai

sepanjang jalan pecangaan

jalan Jepara 425 a

lihatlah keropos ditulangmu

kusut dirautmu

petiklah tanda koma

sekedar buat jeda

terserah dihalte yang mana

asal kita bisa bicara

: lewat udara

paruhbaya usia

ada perjalanan usai kau petakan

meski dilembar kertas buram

keyakinanmu, sobat

bundarkan biar sebiji sawi

demi halau fatamorgana dunia

atau keindahan berbau fana

ingatkah kau ke dingin Ungaran

cintamu tumbang oleh pohon dendam

pohon bibit dari Pati tertanam disini

segera sobat

bubuhkan tanda koma

sekedar melupa nestapa

dijalan Jepara atau

dimana saja

persiapkan sebanyak-banyak O2

nafas agar jadi lega

sobat, jangan lupa

: lewat jiwa

hari ini di perjalananmu

berkelebat satu keinginan

menusuk jauh belantara perawan

mencari Tuhan

sobat, aku turut berdoa


Ungaran, 7 Mei 2008


LAYANG CEKAK KANGGO BAPAK

LAYANG CEKAK KANGGO BAPAK


swara montor mabur

duwur rumah dakit

ngagetke anglesmu

awan mau swarane santer

nanging antengmu

njanthemmu anyepmu

pak, aku ngerti

donyo ora langgeng

sal 5B ing karyadi

sepi


anakmu

SEBUAH BINGKAI

SEBUAH BINGKAI


di dinding ruang kamar

sebuah bingkai kosong tergantung sepi

sepuluh tahun lukisan itu kupertahankan

namun gambarmu terburu buram

akhir dari satu perantauan

tidak harus singgah di kursi pelaminan

biarpun luka demi luka membiru dan lebam

sekarang aku tak hendak kemana-mana

pandangi bingkai kosong sepuas hati

dalam ruang kamarku yang amat sepi


hai malam mana rembulanmu ?

hai gulita mana pelitamu ?

akulah srigala

yang patah taring-taringnya

akulah srigala

yang buta kedua matanya

Tuhan…

aku tak mau henti dalam pengembaraan

aku tak mau sia-sia


mei 2001

Marang Mayor Jendral Peter Cosgrove

Marang Mayor Jendral Peter Cosgrove


pengetan iki kanggo kowe ( maksud opo ora

dudu urusanku )


seorang milisi kalian ikat tangannya

lalu kalian tendang di mata umum

ada seorang yang kamu siram bahan bakar

kemudian kamu eksekusi dengan api hingga mati

beberapa pro integrasi kau maki-maki

sembari kau acungkan moncong senjata api

bah…pasukan australi

seorang sapi tak punya hati

hendak jadi pahlawan di negeri orang

amat memalukan !

di perbatasan kau tembaki pasukan kami

seorang diantara kami terjerembab memeluk pertiwi

biadab kau interfet !

kalian bukan pasukan perdamaian

kalian bukan pasukan cofie annan

interfet adalah kampret-kampret

yang ingin jadi pahlawan di tanah orang

merahputihku kalian robek lalu

kau bakar sembari jingkrak-jingkrak

di depan gedung kedutaan

ke depan negeri kanguru tenggelam

karena ledakan dahsyat bom waktu

tetapi tak seorangpun diantara kalian yang mati

abadi dalam neraka api…

( bumi loro sae tenanglah kini )


Indonesia, tanggal bulan tahun : lupa


BUAT DIRI

BUAT DIRI

Saksikan ikan lele dalam kolam depan rumah

Atau dua burung jalak dalam sangkar itu

Pohon sawo yang tegak

Atau tebu wulung

Atau foto – foto lampau

Atau apalah

Asal buat diri

Lebih berarti


Selasa, 13 Feb 2007

MAAFKAN ANAKKU

Siang dan malam tak makan di rumah

Rinduku terkoyak hari ini


MAAFKAN BAPAK

Aku tak singgah di rumah reakhirmu

Meski ku melintas di sebelahmu

MAAFKAN IBU

Tadi aku lewat disampingmu

Tanpa menyapamu

kalau saja bisa

Kalau Saja Bisa


kutangguhkan detak jarum jam

agar nganga luka

tak meradang

wahai air hujan

kembalilah ke langit kelam

sebelum petang

hendak kutikam sahabat perjalanan

: keinginan


kalau saja bisa

kubikin peta sendiri

agar gerak langkah

terkendali

wahai air mata

sungguh bagai tinta

tertulis di jantung ananda

: puisi


usia hari ini

kusimpan sendiri

jauh dalam laci


18 April 2008

ISTRI

Peliharalah anugerah Tuhan dalam rahimmu

Cukupi nutrisi sayangi rindu ini

Hingga sembilan bulan mendatang

Usia menantang

Empat puluh satu untukmu

Untukku empat puluh empat

Suatu saat kita asyik cerabuti uban

Saat yang lain menimang buah kerinduan

Tua kita belum sempurna

Masih ada tercecer dari genggaman

Tanggung jawab serta kewajiban

Malam menimang rembulan

Pagi mencumbu matahari

Larut dalam suka cita

Menyongsong seorang putera

Siamrifan hatnabe

Seorang puteri

Siamtining tipiya


20 September 2007

DUHAI CINTA

Di rumah ini rinduku berguguran

Cintaku mengeras membeku

Semangatku terpuruk kadang tersuruk

Anak-anakku lahir dengan memar

Istriku semakin sunyi pandang

Mataku buram dadaku kusam

Duhai cinta

Masihkah benar-benar kau simpan

Rahasia hati yang abadi

Dalam keseharianmu

Dalam kesederhanaanmu

Sepanjang hidumu

Duhai cinta


Ung, 13 Feb 2007

BALADA SEORANG TIONGHA

buat : peng lie ong


musik di gelombang 567

mendesing seperti peluru serdadu

suaranya lantang lekang

ndangdut, pop, campur sari

klenengan, kethoprakan, wayangan

semua bikin dahaga

tak beri nuansa jiwa nan papa


peng lie ong

di luar ruangmu

hujan menggemuruh

angin menghasut pikiran kusut

peri kehidupan tuntut menuntut

lalu tak sadarkah kamu

tanganmu terbelenggu oleh monitormu

hatimu koyak tersayat pisau penggemarmu


kini seorang tiongha

lukanya nganga

rindu ibu

rindu bapak

rindu bantal

rindu sandal


peng lie ong

seekor burung koyak sayapnya

belum tentu tak bisa terbang

seekor ayam pincang

bukan berarti tak dapat jalan

terbang…terbanglah

menuju langit biru yang paling biru

bawa jua pesan ini peng

salam sayang dari ayah-bundamu


hatinya tergetar

gelombang 567 seperti serdadu

moncong senapan senantiasa mengarah ke dadamu

seorang peng lie ong tak bisa apa-apa

kecuali sibuk membalut hati yang luka


2 agustus 1999

TENTANG LUDAH MERTUAKU

Hari ini aku tak hendak kemana-mana

Ingin bersihkan ludah-ludah bapak mertuaku

Yang menggenang di ruang tamu

Yang membercak di dinding ruang makan

Yang mengental di lantai kamar tidur


Bapak mertuaku sehat-sehat saja

Di usia tuanya tampak masih perkasa

Tidak perlu kerja keras

Sebab setiap tanggal empat

Turut antre di kantor pos

Mengambil jatah kesejahteraan veteran


Hari ini aku tak hendak bicara apa-apa

Kecuali tentang ludah mertuaku

Yang mongering di saku bajuku

Yang membau di seluruh ruang rumah

Tapi tak apalah

Toh istriku adalah anaknya

Toh anakku adalah cucunya

Toh tempat tinggal kami adalah rumahnya

Toh ludah-ludah itu adalah ludahnya


Hari ini aku tak bermaksud nggrundelli

Cuma membaca adanya

Sebenarnya aku rindu jadi menantu yang santun

Keluar rumah jabat tangan dan mencium

Masuk rumah jabat tangan lalu mencium

Namun khawatir kuman menyerang


Aku benci dengan pengangguran

Aku ingin bekerja keras mengumpulkan uang

Untuk kemudian membeli atau membangun rumah idaman


Hari ini tak ada yang kukerjakan

Kecuali membersihkan ludah-ludah

Yang mulai membusuk

Yang mulai membau

Yang mulai menjijikkan

Aku mulai muak tinggal di rumah ini

Kesehatan istriku memburuk, barangkali

Amat prihatin melihat suaminya

Sibuk membersihkan ludah-ludah bapaknya

Lalu kedua anakku,tak ada yang pandai

Di kelas, tak ada waktu belajar

Tak ada hari tanpa membantu bapaknya

Membersihkan ludah-ludah kakeknya

Sungguh Dik, sial jadi istriku

Nelongso banet ngger anak-anakku


Hari ini tak ada lagi yang kupikirkan

Kecuali pergi dari rumah ini………..


Studio, 16 Juli 2002

Jam 16.00 wib

ADIKKU SAYANG

Lambaian tangan perpisahan

Menusuk hati paling dalam

Ingin daku timang penuh sayang

Tapi Tuhan memanggilmu lebih duluan


Trisnaning… adikku sayang

Daku yakin kau di surga mereguk kedamaian

Biarlah kakakmu di dunia ini

Belajar mengenal Tuhan

Agar kelak kita dapat bercengkrama

Dalam suganya


Tuhan… tunjukkan daku jalan

Menuju janjiMu paling indah

Amin…


Kamis, 13 Mei 2004

Kamis, 08 Mei 2008

Belajar Memahami Bencana

Dari Aceh bermula, berlanjut ke pesisir selatan ranah Jawa. Sebelumnya tanah berguncang di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Setelahnya gempa menyapa Selat Sunda, katanya sempat membuat panik Ibu Kota. Gorontalo dan Nias berikutnya. Selanjutnya... ? Lagi-lagi bencana melanda. Apa sebenarnya yang salah pada kita? Apakah ini sekadar teguran, atau sudah bernama kutukan? Kita tak pernah paham pada setiap maksud-Nya. Kita selalu mengharap kasih-Nya, tapi kita juga menolak setiap murka-Nya seolah kita lebih berkuasa atas kehendak-Nya.”

Oleh Nirwondo el Naan



Itu adalah es em es yang beberapa waktu lalu saya kirim pada teman sekaligus senior saya, Atmo Tan Sidik. Dengar-dengar sekarang beliau menjadi ketua Paguyuban Penulis Pantura.

Entah kenapa setelah bencana demi bencana datang bertubi-tubi merobek-robek paras negeri ini saya suka sekali menulis di ponsel saya. Tidak saja puisi, tapi juga peristiwa-peristiwa hangat yang belakangan kerap sekali terjadi. Dan Atmo Tan Sidik adalah orang yang selalu saya ganggu dengan dering-dering melengking yang membuat pekak kuping. Semoga ponselnya tidak lalu dibanting karena selalu dibuat bising.

Hari ini <29/7/2006>, pagi masih dini, tapi saya telah terjaga dan duduk di depan teve sambil menghirup kopi. Dan headline news dari salah satu channel yang menjadi favorit saya menurunkan berita: gas meledak dari dalam tubuh mbak Sukowati . Saya bergeming. Menyimak dengan seksama sembari menajamkan telinga. Dan kopi yang sejak tadi menjadi teman istirahat saya, saya biarkan menjadi dingin dan kehilangan aroma.

Belum lagi selesai soal semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, kini telah muncul persoalan baru, ledakan gas. Warga pun bergegas, takut terkena racun dan panas.

Saya bergumam –entah sengaja atau tidak, bangsa ini hidup dari bencana ke bencana.


Bertemu cinta setelah bencana

Setiap bencana selalu meninggalkan duka, kepedihan, rasa cemas dan trauma. Ratusan ribu nyawa melayang sia-sia. Korban harta sudah tak terhitung lagi nilainya. Dan kita tidak tahu rencana Tuhan selanjutnya.

Bencana tidak bisa diramal juga tidak bisa terhindarkan. Kita menolak murka alam –yang tentu saja selain faktor geologi, ada campur tangan Tuhan- tapi kita tinggal di atas lempeng-lempeng benua yang selalu berinteraksi dan saling menunjam. Alam selalu membuat kejutan, menggerakkan lempeng-lempeng bumi sehingga saling bertabrakan lalu menimbulkan guncangan. Jika terjadi di laut dalam skala besar berpotensi memunculkan gelombang pasang. Dua kekuatan alam yang selalu bersatupadu membuat kebinasaan.

Bencana bisa diartikan sebagai teguran. Bisa juga adalah peringatan. Dan semoga ini bukan merupakan kutukan. Lepas dari itu semua bencana adalah bentuk kepedulian Tuhan pada manusia.

Kok, bisa?

Bisa. Karena Tuhan adalah pemilik segala cinta. Tapi jauh sebelum negeri ini dihajar bencana demi bencana kita telah kehilangan cinta. Dan bencana adalah cara Tuhan mengingatkan kita supaya kita sadar dan kembali menemukan cinta yang telah lama terlepas dari rengkuhan kita. Karena Tuhan masih mencintai kita. Karena Tuhan masih peduli pada kebodohan kita.

Satu kali, di pinggir kali pemali saya ketemu Kang Karli. Kami ngobrol hampir setengah hari. Hitung-hitung reuni setelah kami tak pernah ketemu lama sekali. Kepada dia saya bilang begini: Bangsa ini –termasuk saya sendiri, terlalu sibuk mengurusi kepentingan diri sendiri. Kita asik membelanjakan uang dari hasil korupsi sampai-sampai kita tidak tahu enam bulan lalu saudara-saudara kita di Yahukimo, Papua tidak bisa makan nasi. Bahkan sampai hari ini mereka masih tetap makan ubi. Belum lagi cerita dari Nusa Tenggara Timur tentang anak-anak yang kurang gizi. Bahkan beberapa bulan yang lalu teman-teman saya di Brebes harus makan nasi aking karena harga beras terus membumbung tinggi.

Lalu siapa Kang Karli?

Dia hanya orang kecil yang hidup di desa terpencil. Tinggal bersama seorang istri dan dua anak laki-laki. Bertahan hidup dengan bekerja sebagai petani. Dia tak paham istilah manipulasi apalagi soal globalisasi. Dia hanya tahu negara ini miskin karena pejabatnya banyak yang korupsi. Segala sesuatu diukur dari materi. Bahkan harga diri pun bisa dibeli.

Dan Tuhan pun berempati pada kegilaan bangsa ini yang gemar menghitung-hitung materi. Menumpuk-numpuk kekayaan pribadi. Memperkaya diri sendiri. Korupsi dan manipulasi. Bekerja setengah hati. Saling sikut demi ambisi. Kekuasaan menjadi harga mati.

Lalu bencana datang silih berganti. Itu cara Tuhan untuk memperbaiki. Dengan banyak jiwa yang mati kita lantas jadi peduli. Tapi kerugian sudah tak bisa dihitung lagi. Baik nyawa maupun materi. Istri terpisah dari suami. Suami kehilangan istri. Anak-anak menangisi bumi, mencari orang tua yang mengayomi.

Dan kita berkata, dan media massa menulisnya; dukamu duka kita, atau, duka kalian adalah duka kami semua.

Tiba-tiba saya menemukan banyak sekali cinta di antara korban bencana. Berkelebatan di antara duka dan nestapa. Di antara puing-puing rumah yang rata dengan tanah. Perasaan bangsa ini mendadak peka pada nasib anak-anaknya. Seandainya rasa cinta itu ada sejak semula, mungkin tidak ada kematian yang sia-sia. Tidak ada kepedihan yang terus mendera. Haruskah cinta itu ada setelah kita berulang-kali diterpa bencana? Mestikah empati kita punya sesudah kita menyaksikan negeri ini semakin terluka?

Pada mulanya semua berawal dari firman di mana Tuhan selalu berperan. Tapi ketika peradaban terobek oleh bencana dan kekerasan, itu adalah perbuatan. Bahasa tak lagi menemukan keindahan. Cinta kehilangan peranan. Seni sekadar menjadi pajangan. Dan bencana selalu berakhir penderitaan.

Tapi saya tercengang. Lalu saya merasa takut bukan kepalang. Bencana demi bencana telah menerjang. Ratusan ribu nyawa telah melayang. Pemerintah melalui badan yang berwenang melakukan ancang-ancang. Alat-alat pemantau bencana dipasang. Tapi masih saja ada yang suka menabuh genderang perang. Di Makassar unjuk rasa diwarnai aksi saling serang. Massa mahasiswa berang. Polisi memasang wajah garang.

Peristiwa di Kwamki Lama, Timika, pun menyentak banyak orang. Dua kubu saling tentang. Konflik yang selalu berulang. Katanya perseteruan hanya bisa selesai jika jumlah korban telah seimbang. Dan kita yang percaya bahwa dengan cinta rasa damai akan datang, semestinya tidak membiarkan saudara-saudara kita hidup dengan perasaan selalu tegang.

Kini sepantasnya kita belajar dari bencana. Sudah seharusnya kita memperhatikan mereka. Negara harus memberikan kesejahteraan. Hukum mampu menjamin rasa aman. Agama bisa membangun kebersamaan. Bhinneka Tunggal Ika diterapkan pada setiap kehidupan. Dan kita akan menemukan kasih sayang, kepedulian dan cinta yang mampu mempersatukan bermacam jenis perbedaan.

Dan saya melihat cinta, mengikat hati bangsa Indonesia. Bencana telah menyumbangkan sesuatu yang baru bagi peradaban manusia. Dari “elu-elu, gua-gua” menjadi “kamu adalah aku, aku adalah kamu”.

Dan saya merasa telah jatuh hati pada CINTA.



Nirwondo el Naan, sastrawan, tinggal di Ungaran

Menunggumu

aku masih menunggumu di sini

dengan sebilah belati dan sebaris puisi

juga secangkir anggur dan sepotong hati


tapi menunggumu lebih perih dari menjemput mati!

mencintaimu adalah menoreh luka yang sakitnya tak terperi


aku hanya ingin kau mengerti laki-laki

kau malah mencintai puisi


“aku jatuh hati pada puisi, juga laki-laki,” katamu

dan aku telah menulis seratus kali

hingga kata menjadi mati

bahasa tak indah lagi

tapi kau masih saja berlari

meruntuhkan mimpi laki-laki

mengkhianati puisi


aku masih menunggumu di sini

tanpa puisi, hanya sebilah belati

untuk membunuhmu hingga seribu kali



2006


(Pernah dimuat di Wawasan, 23 Maret 2008)

Cinta

barangkali yang kita perlukan sekarang adalah cinta

untuk di berikan pada mereka

yang dulu menjadi lawan kita

yang sampai hari ini masih menyimpan luka

supaya tidak ada lagi saling curiga

dan kita merasa nyaman duduk bersama


tapi kalian masih saja menutup mata

bahwa mereka memerlukan perhatian kita


lihat, dan rasakanlah penderitaannya

mereka yang masih hidup di tenda-tenda

kehilangan rumah dan sanak-saudara

oleh bencana, yang kalian anggap suatu yang biasa

dan mereka cuma bisa memasrahkan hidupnya

dan kalian hanya memberikan janji yang dusta


lihat, dan dengarkanlah teriakan-teriakannya

yang menginginkan keadilan merata

supaya hidup lebih sejahtera

sebab kalian memperlakukannya berbeda


barangkali yang harus kita lakukan adalah jatuh hati pada cinta

agar perasaan bangsa ini menjadi peka pada nasib anak-anaknya

maka tak ada lagi kepedihan yang terus mendera

tak ada lagi tangis yang pecah di malam buta

sebab setiap musibah selalu meninggalkan luka derita

mari kita berkata; kesedihan mereka adalah kesedihan kita, senyum mereka adalah kebahagiaan kita

dan Tuhan berhenti menyapa kita

karena setiap murka alam selalu ada campur tangan-Nya


barangkali yang harus kita pupuk sekarang adalah cinta

untuk diwariskan pada anak-anak kita

maka negeri ini akan aman sentosa


2006


Engkau menjadi inspirasi

sebuah sajak untuk Kembara


engkau selalu saja menjadi inspirasi

pada setiap puisi yang leleh dari kebekuan imaji

tangismu adalah kesejukan embun di pagi hari

dan senyummu adalah impian setiap lelaki


tapi, anakku…

hidup ini cuma sekali

menarilah terus seperti para bidadari

sebab, keriangan masa kecil datangnya hanya sekali


2006


(Pernah dimuat di Wawasan, 23 Maret 2008)

Pengantin Cahaya

Nirwondo el Naan



JIKA kita berhadapan dengan belantara yang lebat maka yang muncul kemudian di benak kita adalah kelebatan yang menakutkan. Seram. Tapi bagi kami, yang sehari-hari selalu menggembalakan sapi-sapi, hutan sama halnya dengan padang-padang rumput yang selalu memberikan kehidupan.

Setiap hari, sebelum matahari terbit, kami sudah harus pergi meninggalkan desa membawa sapi-sapi kami dan pulang sebelum matahari terbenam. Sapi-sapi kami biarkan berjalan bebas, tidak kami ikat. Sejak kecil kami sudah diajari menjadi gembala-gembala. Sapi adalah satu-satunya jenis ternak yang ada di desa kami. Hampir di setiap rumah memelihara binatang ini.

Seperti gembala-gembala yang lain, pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit, aku menyiapkan segala sesuatu untuk bekal selama menggembalakan sapi-sapi. Kubawa makanan secukupnya. Bumbung bambu ku isi air yang kuambil langsung dari pancuran di bawah bukit. Airnya jernih dan bersih. Pancuran ini selain berfungsi sebagai tempat mandi bagi penduduk desa kami, juga dimanfaatkan untuk keperluan memasak. Ada juga yang percaya bisa digunakan untuk pengobatan.

Di desa kami hanya ada satu padang rumput yang luasnya tidak seberapa. Letaknya di bawah bukit di salah satu lereng gunung berapi. Matahari mulai bergerak naik ketika aku sampai di tempat ini. Sementara binatang-binatang herbivora itu makan rumput-rumput yang masih segar, aku melangkah menuju salah satu pohon yang agak besar. Duduk bersandar dan membuka perbekalan.

***


SETIAP hari aku selalu membawa sapi-sapiku ke tempat ini. Rumput di sini segar-segar. Sapi-sapiku pun tampak senang. Secara naluriah mereka hanya butuh minum dan makan. Untuk keperluan minum mereka aku membawa sebuah ember kecil. Saat mereka asik makan aku mengambil air di sungai di pinggiran hutan. Untuk melakukan pekerjaan ini aku harus menempuh perjalanan sejauh dua kilometer dari tempat sapi-sapiku makan. Untuk beberapa hari aku merasa tenang karena binatang-binatang ini mendapat persediaan makanan.

Lama-lama rumput di sini mulai habis. Kata orang-orang tua di desa kami, gembala harus bisa mengerti binatang yang digembalakan. Maka akupun mengerti, jika rumput-rumput di sini telah habis tentulah tidak baik untuk mereka. Sementara mereka tetap butuh minum dan makan.

Sementara sapi-sapi itu asik merumput, aku berjalan-jalan di sekitar pinggiran hutan. Berharap ada padang rumput baru untuk menggembalakan sapi-sapiku. Sapi adalah binatang yang cerdik. Patuh pada tuannya. Mereka tak akan pergi jauh sekalipun lama aku tinggalkan. Mereka hanya akan pergi atau lari tunggang-langgang bila ada kejadian-kejadian yang berhubungan dengan peristiwa alam. Dalam hal ini naluri mereka jauh lebih tajam dari manusia.

Sampai di pinggiran hutan aku belum juga menemukan padang rumput. Aku hanya menemukan pohon-pohon besar dengan separoh daunnya yang sudah mulai meranggas. Dari bentuk dan keadaannya, pastilah usia mereka sudah sangat purba. Tapi sungguh, tak satu pun penduduk di desa kami yang berani menebangnya.

“Kau mau kemana?” tanya Ki Soka suatu hari ketika aku sudah mulai kebingungan mencari padang rumput untuk makanan sapi-sapiku.

“Mencari rumput di hutan.”

“Kau tidak boleh masuk ke sana! Itu pantangan turun-temurun yang tidak boleh dilanggar.”

“Tapi rumput-rumput di sini telah habis.”

“Jika kau tetap masuk, kau tidak akan menemukan jalan untuk keluar.”

Begitulah yang selalu dikatakan Ki Soka setiap kami bertemu di pinggiran hutan. Tapi gembala yang baik harus tahu keinginan binatang yang digembalakan. Dan mereka hanya butuh minum dan makan.

Maka akupun masuk ke dalam kelebatan hutan. Tak kuhiraukan lagi kata-kata Ki Soka yang selalu memberikan peringatan-peringatan.

***



Menulis Cerita, Mengangkat Realita

(Membedah buku kumpulan cerpen ‘Bidadari Meniti Pelangi’, S. Prasetyo Utomo)


Esai Nirwondo El Naan


ADA satu keasikan pada saat saya membaca kumpulan cerpen ‘Bidadari Meniti Pelangi’-nya S. Prasetyo Utomo. Saya begitu larut bahkan seperti melebur masuk dalam cerita itu sendiri. Apa yang saya baca adalah apa yang saya lihat, juga saya merasakan, pahit manisnya kehidupan. Dunia adalah tempat yang layak untuk berdiam. Tapi ketika kehidupan menyuguhkan penderitaan-penderitaan manusia mulai melakukan pengingkaran. Tak berani menerima kenyataan. Lalu melakukan perlawanan yang kadang semakin menjauh dari kebenaran.

Prasetyo mengungkap kebenaran. Menulis cerita, mengambil beberapa lembar dari sekian banyak lembar hidup dan kehidupan. Disusun menjadi kerangka-kerangka lalu diolah menjadi bangunan sebuah cerita yang apik dan menawan. Pengungkapannya sederhana akrab dengan keseharian kita tapi tetap memesona.

Sebagai misal, cerpen Bidadari Meniti Pelangi, mengangkat pergolakan batin manusia yang kerapkali merongrong perasaan kita. Kecemburuan, pengkhianatan, ketertarikan secara emosional seringkali kita jumpai dalam keseharian. Saya tidak sedang berbicara tentang realisme eksotis atau apa namanya dalam aliran kesusastraan. Bagi saya nilai sebuah karya sastra adalah pada saat sudah berada pada pembacanya. Baik atau buruk pembacalah yang berhak menentukan. Semakin banyak kritik –yang memuji atau juga seringkali mencela- semakin menunjukkan keberhasilan si penulis dalam menuangkan ide-idenya.

Pergulatan hidup bahkan kehidupan yang terenggut memaksa Kang Karli berjalan dalam kegamangan bahkan samar-samar. Dalam kekukuhan hatinya ia merasa masih punya hak atas tanah warisan leluhurnya, tapi dalam ketidakberdayaannya ia harus rela melepaskan apa yang telah menjadi haknya. Kang Karli kehilangan pekerjaan. Di tengah serbuan para pendatang ia menjadi pencuri kecil-kecilan untuk bertahan hidup. Bahkan teman-temannya menganggap Kang Karli sebagai perusuh. Ia menjadi rapuh. Begitu kira-kira yang saya tangkap dalam cerpen ‘Perusuh’.

Tidak sedikit kita menjumpai karya sastra realis. Bahkan sekitar pertengahan abad ke-20 tema-tema seperti ini banyak mendapat perhatian dari para sastrawan. Ketika di Indonesia terjadi pergantian kepemimpinan, selalu pula terjadi pergolakan, demonstrasi, pertumpahan darah, tragedi kemanusiaan, pelanggaran HAM dan yang lain-lainnya. Di sini peran serta seniman kelihatan. Mereka tidak turun ke jalan, meneriakkan yel-yel atas nama kemanusiaan. Tapi mereka ikut berjuang. Mengungkap fakta, membaca realita, mengangkatnya menjadi karya sastra. Tetapi tidak semua karya sastra adalah pembenaran atas segala peristiwa.

Membaca keseluruhan cerpen-cerpen Prasetyo, seperti menelusuri riwayat hidup orang-orang yang selalu dikalahkan dan pada akhirnya selalu disalahkan. Kepasrahan manusia dalam berhadapan dengan takdirnya sekaligus obsesinya untuk melampaui keterbatasan-keterbatasan yang ada pada dirinya.

Tokoh-tokoh pada cerpen Prasetyo memang selalu kalah oleh terpaan badai takdirnya, tetapi sekaligus juga mampu mengalahkan kekalahannya sendiri dengan melakukan sebaik-baiknya perlawanan pada permainan nasib. (Seperti seorang dewi yang penuh kesabaran, penuh pengampunan, Sekar menahan kemurkaannya. Dia tak menghukum suaminya. Tak menghukum adik perempuannya. Kutipan dari ‘Tercium Harum Tubuh’ halaman 103). Keputusan yang tidak tergesa-gesa sekalipun getir kedengarannya. Sekar telah mampu mengalahkan kebenciannya. Ia lawan kemarahannya dengan kelembutan perempuannya. Ia memaafkan kesalahan perselingkuhan suami dan adik perempuannya dengan pertimbangan moral yang bebas.

Pada cerpen-cerpen Prasetyo cerita selalu merupakan kisah tentang dahsyatnya kekuatan-kekuatan heroik yang cara penceritaannya mengesampingkan idiom estetik. Karut-marut jaman yang penuh daya-dera yang menggilas, tetapi telah gagal menghentikan manusia untuk tidak bertindak semaunya, diungkapkan dengan pemahaman yang sederhana dari mendengar atau memandang realita sehari-hari. Mungkin ia ingin mengatakan: hidup akan terus berjalan sesuai dengan keinginannya, dan perjuangan manusia untuk mengangkat harkat kemanusiaannya tidak akan pernah terpadamkan.

Kepedulian pengarang pada nasib orang-orang yang selalu terkungkung oleh penderitaan akibat kekerasan dan penindasan telah memunculkan tokoh-tokoh yang selalu melakukan pergulatan, baik pada nasibnya atau terhadap diri sendiri. Peristiwa-peristiwa yang kerap terjadi di sekelilingnya, keterpesonaannya pada kehidupan yang tetap bersahaja menjadi inspirasi pada karier literernya. Dengan imajinasinya berusaha menggali dari alam bawah-sadarnya, diserap kemudian diolah kembali dengan beragam kisah dalam cerita-ceritanya.

Sering kita membaca karya sastra secara menyeluruh untuk menemukan nilai, atau maksud yang hendak disampaikan pengarang, tetapi gagal karena ide yang ingin disampaikan tidak jelas. Pretensi yang berlebihan, penghamburan kata-kata seringkali menghasilkan cerita yang tidak bernas. Prasetyo telah membebaskan diri dari kesuntukan yang berlarut-larut mengeksplorasi idiom estetik yang sempit dan mencoba menggapai bermacam persoalan yang lebih luas, yang memungkinkan wilayah penciptaannya melebar jauh melampaui batas-batas. Meskipun, seperti yang dikatakan dalam pengantarnya dalam buku kumpulan cerpen ini –juga ketika saya bertandang di sebuah SMU yang dikelilingi pohon-pohon perdu dan rumpun bambu, tempat Beliau mengajar- melalui pencarian yang panjang.

Jika kita membaca kumpulan cerpen ini dari awal sampai akhir, kita akan menjumpai Prasetyo yang telah menemukan dunianya sendiri. Sebuah usaha pencarian jati diri, menurut istilahnya. Ia menulis dengan bahasa yang sederhana, mudah dicerna, tanpa pretensi, tanpa pembaruan dalam khasanah kesusastraan. Ia menggunakan riset dan pengalaman batin yang selalu menggoda imajinya, kemudian melalui proses kreatifnya mengalirlah kata-kata yang memiliki kekuatan yang menukik menghujam jiwa. Kekayaannya ada pada ide-idenya, bukan pada simbol atau imaji semisal cerpen-cerpen Gus tf Sakai. Produktivitasnya selama kurun waktu dua puluh tahun yang telah menghasilkan banyak karya (cerpen, novel, puisi, esai) telah banyak dipublikasikan media massa lokal maupun nasional, ia patut diperhitungkan.

Selama dua puluh tahun itu, Prasetyo tetap tegar bertahan dalam nafas dan warna karyanya. Kita bisa melihat warna itu selain dalam kumpulan ini, juga pada setiap cerpen-cerpennya yang muncul baik di Kompas, Suara Merdeka, ataupun Wawasan. Sebuah identitas bukan sebuah alih cara setiap menghadapi trend baru. Trend dalam konteks ini dimaksudkan sebagai gaya kepenulisan atau model yang tengah populer dan biasanya diminati dalam satu periode musim tertentu.

Prasetyo adalah bagian dari alam penciptaannya. Ia dan karya-karyanya tak bisa terpisahkan dari setiap denyut kehidupan manusia dan jamannya. Ia terus mencari, menemukan dan mengubah setiap denyut itu menjadi cerita, dengan bahasa, imaji dan kata-kata. Ia terus mencatat dalam proses kreatifnya, mengantar manfaat bagi kehidupan manusia melalui nilai-nilai yang dikemas dalam karya-karyanya.

Menulis cerita adalah mengangkat realita, bukan mengarang sebuah peristiwa. Dan karya sastra, ia bukanlah unikum seni semata, tetapi sebagai produk nilai dan guna. Ia diperlukan manusia. Sebagai penyembuh, potret peristiwa, dan segala yang mempunyai daya guna.

Barangkali sastra tak akan mampu menyelamatkan manusia, tetapi melalui sastra ada dialog yang menjadi mungkin untuk dilakukan. Ada energi untuk melakukan perlawanan. Dan yang paling mungkin pengertian tentang sejarah manusia dan manusia dalam sejarah, dalam konteks ini keharmonisan hubungan manusia dan alam, yang telah terkeping-keping karena kekerasan dan penghancuran. Manusia kehilangan harkat kemanusiaannya, alam kehilangan keindahannya.

Dalam proses kreatifnya, tidak sedikit sastrawan –bahkan hampir sepanjang hayatnya- sastra telah dijadikannya sebagai jalan hidup untuk melakukan perlawanan terhadap kekerasan, ketidakadilan terhadap umat manusia, juga kesewenang-wenangan terhadap alam, yang justru dilakukan oleh manusia.

Sastrawan melawan dengan imaji, bahasa dan kata demi melihat mereka yang teraniaya. Tapi tidak dengan kekerasan. Dengan kekuatan imajinya berusaha menghargai harkat manusia. Berarti juga ikut menentukan harga manusia.

Demikian Prasetyo melihat, merekam, segala peristiwa yang kerap terjadi di sekitar kita. Lalu dengan kelincahannya dalam bercerita ia mengabarkannya kepada kita, para penikmat sastra.




Nirwondo El Naan, cerpenis, tinggal di Ungaran.

Email: kembara_langlang@yahoo.com

Memahami Pram…


SUNGGUH…ini bukan mimpi, bukan pula satu kebetulan. Tapi ini benar. Saat saya melihat gunung Ungaran yang menjulang, saya seperti melihat sosok Pram yang kontroversial, tinggi, kuat, keras dan batu. Pram memang tinggi cita-citanya, kuat ingatannya pada sejarah, keras wataknya, dan serupa batu, ia tak bergeming dari pendiriannya. Lalu sosok itu tiba-tiba melesat dari ketinggian, meluncur tepat ke arah saya, dan…..huf! Saya tersadar, saya masih berada pada dunia yang fana, tapi Pram sudah meninggalkan kita. Ia pergi bersama gagasan-gagasan yang belum sempat diselesaikannya. Tapi karya-karya yang ditinggalkannya tak pernah sepi dari peminatnya, menjadi nyawa bagi generasi berikutnya.


Oleh Nirwondo el Naan


HARI Sabtu yang lalu (10/6/2006), di ruang sidang Redaksi Suara Merdeka berlangsung perhelatan, diskusi “Membaca Pramoedya Ananta Toer dari Segala Sisi”. Acara yang dimoderatori oleh Gunawan Budi Susanto dan berlangsung lebih dari empat jam itu menghadirkan empat orang pembicara. Mereka adalah Hendro Basuki, Triyono Lukmantoro, Prof Dr Th Sri Rahayu Prihatmi, dan seorang penulis muda berbakat, Eka Kurniawan. Beragam penilaian yang dikemukakan seputar sosok Pram.

Dari bermacam hipotesis yang diungkapkan para pembicara, yang menarik adalah yang dikemukakan oleh Hendro Basuki yang melihat Pram dari tempat dia dilahirkan. Dan cerita mengenai Blora dan sekitarnya juga menjadi tema dalam ‘Tjerita dari Blora’, tulisan Pram yang sebagian besar dipetik dari dunia sekitarnya yang nyata, juga dari tokoh-tokoh nyata hasil riset sejarahnya.

Kekaguman dan simpati Pram pada tokoh ibu, pandangan sinisnya pada tokoh-tokoh agama, banyak sekali mewarnai karya-karyanya disamping buah dari pengalaman pribadinya. Neneknya dari pihak ibu adalah ‘selir’ dari seorang penghulu Rembang, seorang haji, yang dicampakkan dari rumah setelah melahirkan –sebagai bagian dari kepercayaan di Jawa saat itu.

Sikap-sikap yang ditunjukkannya lebih mewakili pada pandangannya yang antifeodalisme Jawa daripada anti-Islam atau anti-agama seperti yang sering diarahkan kepadanya. Misalnya ketika dia menggambarkan tokoh haji sebagai tuan tanah yang korup. Tapi bagaimanapun, itu memang kelihatan juga telah mempengaruhi semua pandangannya terhadap agama, yang menurutnya seringkali dipakai hanya sebagai alat penindasan.

Sisi yang paling menonjol dari karya-karya Pram adalah identifikasi setiap tokohnya terhadap perjuangan rakyat kecil yang selalu tertindas. Aliran realisme sosialis seperti itu memang kerap menjadi arus besar di masa karirnya.

Pram, Cita-citanya dan Gagasan-gagasannya

Bagi Pram setiap bentuk penindasan harus dilawan. Cita-citanya ini selalu tercermin pada setiap gagasan-gagasan yang tertuang di semua tulisan-tulisannya. Dan karena tulisan-tulisannya yang selalu mengobarkan semangat perlawanan, maka hampir separo hidupnya dihabiskan di dalam penjara. Tiga tahun dalam penjara kolonial, satu tahun ditahan Orde Lama, dan empat belas tahun saat Orde Baru berkuasa.

Tapi penjara tak pernah membuatnya jera. Ia masih terus menulis yang menurutnya adalah tugas pribadi dan nasional. Dan dia sangat konsekuen pada segala akibat yang akan diperoleh di kemudian harinya.

Cita-cita dan gagasan Pram yang cemerlang ada pada tokoh Siti Soendari, anak teman sekolah Minke, yang tinggal di Pemalang. Setelah ditinggal mati ibunya Siti Soendari dibesarkan oleh ayahnya di lingkungan orang-orang yang terpelajar. Selepas dari sekolahnya ia memilih menjadi perempuan merdeka yang bekerja untuk cita-citanya. Dengan sopan dan tetap tegar dia menampik segala bujukan ayahnya yang dipaksa oleh Belanda supaya segera menikahkan anaknya. Dan dia sukses mengatasi rasa takut kepada ayahnya demi mempertahankan cita-citanya, suatu hal yang masih belum dapat diwujudkan oleh R.A. Kartini sebelumnya.

Dalam karya-karyanya Pram selalu menampilkan tokoh revolusi yang menentang segala situasi yang tidak manusiawi, yang datang dari bangsanya sendiri maupun yang datang dari pihak asing .

Feodalisme yang tidak manusiawi bisa dibaca di dalam Bumi Manusia, yaitu ketika Minke, anak bupati yang telah belajar pengetahuan di Eropa, merasa sangat terhina sewaktu bertemu ayahnya, ia harus merangkak dan menyembah. Kolonialisme juga tidak manusiawi karena di samping sistem itu sendiri menindas dan menghisap, ia juga yang melahirkan pegawai yang korup Korupsi> dan polisi pribumi yang mengontrol Minke dan gerakan kebangsaan Rumah Kaca>.

Pram juga mengkritik politik anti-Tionghoa yang diwariskan oleh Belanda. Dalam Hoakiau di Indonesia, ia menggugat perlakuan yang kita berikan pada mereka dan memperlihatkan peran dan kedudukan orang Tionghoa dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Satu sikap yang kemudian mendapat pertentangan dari pemerintah. Buku ini kemudian dilarang dan Pram pun ditahan tanpa proses peradilan.

Bagaimana Kita Memahami Pram?


Dua hal paling penting sepeninggal wafatnya Pram adalah warisannya untuk dunia dan perlakuan bangsa Indonesia terhadap warisan itu. Warisan Pram terbesar adalah rasa cinta mendalam dari berbagai bangsa kepada Indonesia. Sedangkan perlakuan yang paling diharapkan adalah bagaimana warisan itu dapat diterima dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya.

Begitu yang dikatakan Eka Budianta dalam “Menghormati Pram, Bangsa dan Tanah Airnya” <Kompas, 7/5/2006>. Dia pula yang menjaga Pram selama dirawat di rumah sakit disamping kerabat-kerabat yang lain. Bahkan ketika Pram dibawa pulang, dirawat di rumah sampai ajal menjemputnya.

Pertanyaannya adalah: bisakah kita menghormati Pram sebagaimana bangsa-bangsa lain di dunia yang mencintainya? Bersediakah kita menerima semua warisannya tanpa mempersoalkan segala kelebihan dan kekurangan-kekurangannya? Mampukah kita memahami Pram hanya dari sisi ekstrinsiknya saja tanpa mau melongok pada sisi intrinsiknya? Misalnya pada karya-karya sastra yang dihasilkannya.

Tampaknya selama ini kita memahami Pram hanya dari sosoknya, sikap politiknya dan ideologi-ideologinya. Padahal, kalau kita membaca karya-karya dari sastrawan-sastrawan Indonesia, menjelang dan sesudah kemerdekaan Indonesia, hampir semuanya tidak bisa lepas –atau tidak mau melepaskan diri dari persoalan politik.

Pram memang pernah salah dalam melangkah, tetapi itu lebih disebabkan karena perbedaan konsep berkesenian di antara kubu Lekra yang dikomandoinya, dan HB. Jassin dengan Manifes Kebudayaannya.

Tapi Pram adalah pengarang besar yang dimiliki Indonesia. Ia juga menggetarkan dunia melalui kata-katanya. Dari tangan dan nuraninya mengalir kata-kata yang memiliki kekuatan luar biasa, menukik ke setiap jiwa yang selalu mencintainya. Ia menulis dengan bahasa yang sederhana, menggunakan riset dan data-data sejarah, maka karya-karyanya pun selalu dibaca, tidak saja oleh masyarakat Indonesia, tapi juga oleh masyarakat dunia. Dia dicerca oleh lawan-lawannya tapi sekaligus dipuja oleh generasi mudanya. Dia menjadi legenda karena produktivitasnya dan juga gagasan-gagasannya yang disumbangkannya kepada dunia.

Lewat tulisan-tulisannya, Pram tak hanya mengenalkan dirinya dan karya-karyanya pada dunia, tapi ia juga telah mengenalkan negerinya, dan terutama sastra Indonesia.

Maka ketika saya membaca salah satu makalah yang ditulis oleh Prof Dr Th Sri Rahayu Prihatmi, dan kemudian argumen yang senada juga disampaikannya dalam diskusi, beliau entah karena kesengajaan atau tidak, telah melakukan pengingkaran terhadap fakta dengan mengatakan bahwa kemajuan dunia sastra Indonesia justru merupakan buah ketidakberhasilan kelompok Lekra. Pendapat semacam ini sama sekali tidak benar. Sebab kenyataannya karya-karya Pram dibaca oleh dunia, melintasi beberapa negara dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Ini adalah kemajuan yang luar biasa bagi sastra Indonesia. Padahal secara psikologis saat itu Pram dalam tekanan penguasa.

Lalu bagaimana kita memahami Pram sebagai sosok manusia biasa yang juga tak luput dari khilaf dan dosa? Jika semasa hidupnya ia selalu dicerca oleh orang-orang yang berseberangan dengannya, masihkah kita akan menghujatnya di saat orangnya sudah tidak ada? Menghabiskan energi dan potensi kita dengan berdiskusi dan berwacana, yang hasilnya hanya mengorek-orek perilaku masa lalunya yang tak sejalan dengan kita?

Kita semestinya harus mulai belajar untuk menilai karya sastra yang tidak berdasar rasa senang atau tidak senang kita yang subyektif terhadap penulisnya, tapi penilaian yang obyektif, dengan menilai sastra dari dalam karya sastra itu sendiri.

Tapi Pram kini sudah tiada, tapi ia juga tak pernah selesai diperdebatkan. Bisakah kita memahaminya tidak sebatas pada perilakunya yang arogan, sikap politisnya yang selalu melawan, atau identitasnya sebagai orang yang pernah menjadi anggota sebuah organisasi seniman yang berafiliasi pada partai komunis ? Mampukah kita bersikap seperti A. Teeuw, seorang kritikus Belanda yang konon pernah dikecam Pram, tetapi mau mencalonkannya sebagai salah seorang calon penerima Nobel Sastra.

Di luar itu semua, Pram tetap seorang teladan. Ia mampu berdiri sebagai dirinya sendiri. Kejujuran dan ketelanjangan perasaannya mampu menggetarkan dunia. Dan ia tetap dipuja, sampai hari ini.




*Esais adalah cerpenis, salah seorang peserta
diskusi
“Membaca Pramoedya Ananta Toer dari Segala Sisi”, tinggal di Ungaran

Angka yang Belum Selesai

aku baru saja menghitung angka ke duapuluh sembilan

sebelum segalanya tiba-tiba musnah

terburai di setiap arah mata angin

tak lagi kuingat apa yang pernah ada di ruang kepalaku

bahkan derasnya hujan yang mengguyur tubuh


(aku bukan lagi batu karang

atau randu hutan ratusan tahun yang pura-pura kokoh

tapi rapuh perlahan oleh alam)


aku kehilangan segalanya yang pernah kugantungkan pada langit

tentang mahkota mawar bertuliskan nama anak-anakku

juga rangkaian aksara yang kuharap akan menjadi bait puisi


kini

yang ada hanyalah sepenggal kisah tak bertajuk

tentang sisa hidup dan kekosongan

jeda panjang yang harus terlalui

hingga pada waktunya tuhan berkata

“kau telah sampai!”


a k u m a t i s e b e l u m u s a i.


2007

Rabu, 07 Mei 2008

Ungaran Berpuisi

Telah lama kegelisahan ini menghentak-hentak dahsyat. Aku yang merindui puisi, aku bahkan ingin menjadi puisi.
Satu kali, di satu diskusi kecil bersama kawan-kawan yang mencintai puisi (pegiat, peminat sampai pada yang sekedar suka menikmati puisi), muncul gagasan untuk membuat satu kantong kreativitas sekaligus produktivitas yang kami sebut kemudian sebagai komunitas.
Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Cabang Kabupaten Semarang, yang bersekretariat di Jalan S. Parman 102 Ungaran --yang kami anggap sebagai satu gebrakan yang muncul dari pengembangan ide bersastra, karena di Ungaran sastra atau kegiatan bersastra memang sangat langka-- adalah awal dari sebuah keberangkatan kami, dengan niatan yang tulus untuk memberi 'nyawa' agar denyut kesusastraan di Kabupaten Semarang menjadi terasa.