Kamis, 08 Mei 2008

Belajar Memahami Bencana

Dari Aceh bermula, berlanjut ke pesisir selatan ranah Jawa. Sebelumnya tanah berguncang di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Setelahnya gempa menyapa Selat Sunda, katanya sempat membuat panik Ibu Kota. Gorontalo dan Nias berikutnya. Selanjutnya... ? Lagi-lagi bencana melanda. Apa sebenarnya yang salah pada kita? Apakah ini sekadar teguran, atau sudah bernama kutukan? Kita tak pernah paham pada setiap maksud-Nya. Kita selalu mengharap kasih-Nya, tapi kita juga menolak setiap murka-Nya seolah kita lebih berkuasa atas kehendak-Nya.”

Oleh Nirwondo el Naan



Itu adalah es em es yang beberapa waktu lalu saya kirim pada teman sekaligus senior saya, Atmo Tan Sidik. Dengar-dengar sekarang beliau menjadi ketua Paguyuban Penulis Pantura.

Entah kenapa setelah bencana demi bencana datang bertubi-tubi merobek-robek paras negeri ini saya suka sekali menulis di ponsel saya. Tidak saja puisi, tapi juga peristiwa-peristiwa hangat yang belakangan kerap sekali terjadi. Dan Atmo Tan Sidik adalah orang yang selalu saya ganggu dengan dering-dering melengking yang membuat pekak kuping. Semoga ponselnya tidak lalu dibanting karena selalu dibuat bising.

Hari ini <29/7/2006>, pagi masih dini, tapi saya telah terjaga dan duduk di depan teve sambil menghirup kopi. Dan headline news dari salah satu channel yang menjadi favorit saya menurunkan berita: gas meledak dari dalam tubuh mbak Sukowati . Saya bergeming. Menyimak dengan seksama sembari menajamkan telinga. Dan kopi yang sejak tadi menjadi teman istirahat saya, saya biarkan menjadi dingin dan kehilangan aroma.

Belum lagi selesai soal semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, kini telah muncul persoalan baru, ledakan gas. Warga pun bergegas, takut terkena racun dan panas.

Saya bergumam –entah sengaja atau tidak, bangsa ini hidup dari bencana ke bencana.


Bertemu cinta setelah bencana

Setiap bencana selalu meninggalkan duka, kepedihan, rasa cemas dan trauma. Ratusan ribu nyawa melayang sia-sia. Korban harta sudah tak terhitung lagi nilainya. Dan kita tidak tahu rencana Tuhan selanjutnya.

Bencana tidak bisa diramal juga tidak bisa terhindarkan. Kita menolak murka alam –yang tentu saja selain faktor geologi, ada campur tangan Tuhan- tapi kita tinggal di atas lempeng-lempeng benua yang selalu berinteraksi dan saling menunjam. Alam selalu membuat kejutan, menggerakkan lempeng-lempeng bumi sehingga saling bertabrakan lalu menimbulkan guncangan. Jika terjadi di laut dalam skala besar berpotensi memunculkan gelombang pasang. Dua kekuatan alam yang selalu bersatupadu membuat kebinasaan.

Bencana bisa diartikan sebagai teguran. Bisa juga adalah peringatan. Dan semoga ini bukan merupakan kutukan. Lepas dari itu semua bencana adalah bentuk kepedulian Tuhan pada manusia.

Kok, bisa?

Bisa. Karena Tuhan adalah pemilik segala cinta. Tapi jauh sebelum negeri ini dihajar bencana demi bencana kita telah kehilangan cinta. Dan bencana adalah cara Tuhan mengingatkan kita supaya kita sadar dan kembali menemukan cinta yang telah lama terlepas dari rengkuhan kita. Karena Tuhan masih mencintai kita. Karena Tuhan masih peduli pada kebodohan kita.

Satu kali, di pinggir kali pemali saya ketemu Kang Karli. Kami ngobrol hampir setengah hari. Hitung-hitung reuni setelah kami tak pernah ketemu lama sekali. Kepada dia saya bilang begini: Bangsa ini –termasuk saya sendiri, terlalu sibuk mengurusi kepentingan diri sendiri. Kita asik membelanjakan uang dari hasil korupsi sampai-sampai kita tidak tahu enam bulan lalu saudara-saudara kita di Yahukimo, Papua tidak bisa makan nasi. Bahkan sampai hari ini mereka masih tetap makan ubi. Belum lagi cerita dari Nusa Tenggara Timur tentang anak-anak yang kurang gizi. Bahkan beberapa bulan yang lalu teman-teman saya di Brebes harus makan nasi aking karena harga beras terus membumbung tinggi.

Lalu siapa Kang Karli?

Dia hanya orang kecil yang hidup di desa terpencil. Tinggal bersama seorang istri dan dua anak laki-laki. Bertahan hidup dengan bekerja sebagai petani. Dia tak paham istilah manipulasi apalagi soal globalisasi. Dia hanya tahu negara ini miskin karena pejabatnya banyak yang korupsi. Segala sesuatu diukur dari materi. Bahkan harga diri pun bisa dibeli.

Dan Tuhan pun berempati pada kegilaan bangsa ini yang gemar menghitung-hitung materi. Menumpuk-numpuk kekayaan pribadi. Memperkaya diri sendiri. Korupsi dan manipulasi. Bekerja setengah hati. Saling sikut demi ambisi. Kekuasaan menjadi harga mati.

Lalu bencana datang silih berganti. Itu cara Tuhan untuk memperbaiki. Dengan banyak jiwa yang mati kita lantas jadi peduli. Tapi kerugian sudah tak bisa dihitung lagi. Baik nyawa maupun materi. Istri terpisah dari suami. Suami kehilangan istri. Anak-anak menangisi bumi, mencari orang tua yang mengayomi.

Dan kita berkata, dan media massa menulisnya; dukamu duka kita, atau, duka kalian adalah duka kami semua.

Tiba-tiba saya menemukan banyak sekali cinta di antara korban bencana. Berkelebatan di antara duka dan nestapa. Di antara puing-puing rumah yang rata dengan tanah. Perasaan bangsa ini mendadak peka pada nasib anak-anaknya. Seandainya rasa cinta itu ada sejak semula, mungkin tidak ada kematian yang sia-sia. Tidak ada kepedihan yang terus mendera. Haruskah cinta itu ada setelah kita berulang-kali diterpa bencana? Mestikah empati kita punya sesudah kita menyaksikan negeri ini semakin terluka?

Pada mulanya semua berawal dari firman di mana Tuhan selalu berperan. Tapi ketika peradaban terobek oleh bencana dan kekerasan, itu adalah perbuatan. Bahasa tak lagi menemukan keindahan. Cinta kehilangan peranan. Seni sekadar menjadi pajangan. Dan bencana selalu berakhir penderitaan.

Tapi saya tercengang. Lalu saya merasa takut bukan kepalang. Bencana demi bencana telah menerjang. Ratusan ribu nyawa telah melayang. Pemerintah melalui badan yang berwenang melakukan ancang-ancang. Alat-alat pemantau bencana dipasang. Tapi masih saja ada yang suka menabuh genderang perang. Di Makassar unjuk rasa diwarnai aksi saling serang. Massa mahasiswa berang. Polisi memasang wajah garang.

Peristiwa di Kwamki Lama, Timika, pun menyentak banyak orang. Dua kubu saling tentang. Konflik yang selalu berulang. Katanya perseteruan hanya bisa selesai jika jumlah korban telah seimbang. Dan kita yang percaya bahwa dengan cinta rasa damai akan datang, semestinya tidak membiarkan saudara-saudara kita hidup dengan perasaan selalu tegang.

Kini sepantasnya kita belajar dari bencana. Sudah seharusnya kita memperhatikan mereka. Negara harus memberikan kesejahteraan. Hukum mampu menjamin rasa aman. Agama bisa membangun kebersamaan. Bhinneka Tunggal Ika diterapkan pada setiap kehidupan. Dan kita akan menemukan kasih sayang, kepedulian dan cinta yang mampu mempersatukan bermacam jenis perbedaan.

Dan saya melihat cinta, mengikat hati bangsa Indonesia. Bencana telah menyumbangkan sesuatu yang baru bagi peradaban manusia. Dari “elu-elu, gua-gua” menjadi “kamu adalah aku, aku adalah kamu”.

Dan saya merasa telah jatuh hati pada CINTA.



Nirwondo el Naan, sastrawan, tinggal di Ungaran

Tidak ada komentar: