Kamis, 08 Mei 2008

Memahami Pram…


SUNGGUH…ini bukan mimpi, bukan pula satu kebetulan. Tapi ini benar. Saat saya melihat gunung Ungaran yang menjulang, saya seperti melihat sosok Pram yang kontroversial, tinggi, kuat, keras dan batu. Pram memang tinggi cita-citanya, kuat ingatannya pada sejarah, keras wataknya, dan serupa batu, ia tak bergeming dari pendiriannya. Lalu sosok itu tiba-tiba melesat dari ketinggian, meluncur tepat ke arah saya, dan…..huf! Saya tersadar, saya masih berada pada dunia yang fana, tapi Pram sudah meninggalkan kita. Ia pergi bersama gagasan-gagasan yang belum sempat diselesaikannya. Tapi karya-karya yang ditinggalkannya tak pernah sepi dari peminatnya, menjadi nyawa bagi generasi berikutnya.


Oleh Nirwondo el Naan


HARI Sabtu yang lalu (10/6/2006), di ruang sidang Redaksi Suara Merdeka berlangsung perhelatan, diskusi “Membaca Pramoedya Ananta Toer dari Segala Sisi”. Acara yang dimoderatori oleh Gunawan Budi Susanto dan berlangsung lebih dari empat jam itu menghadirkan empat orang pembicara. Mereka adalah Hendro Basuki, Triyono Lukmantoro, Prof Dr Th Sri Rahayu Prihatmi, dan seorang penulis muda berbakat, Eka Kurniawan. Beragam penilaian yang dikemukakan seputar sosok Pram.

Dari bermacam hipotesis yang diungkapkan para pembicara, yang menarik adalah yang dikemukakan oleh Hendro Basuki yang melihat Pram dari tempat dia dilahirkan. Dan cerita mengenai Blora dan sekitarnya juga menjadi tema dalam ‘Tjerita dari Blora’, tulisan Pram yang sebagian besar dipetik dari dunia sekitarnya yang nyata, juga dari tokoh-tokoh nyata hasil riset sejarahnya.

Kekaguman dan simpati Pram pada tokoh ibu, pandangan sinisnya pada tokoh-tokoh agama, banyak sekali mewarnai karya-karyanya disamping buah dari pengalaman pribadinya. Neneknya dari pihak ibu adalah ‘selir’ dari seorang penghulu Rembang, seorang haji, yang dicampakkan dari rumah setelah melahirkan –sebagai bagian dari kepercayaan di Jawa saat itu.

Sikap-sikap yang ditunjukkannya lebih mewakili pada pandangannya yang antifeodalisme Jawa daripada anti-Islam atau anti-agama seperti yang sering diarahkan kepadanya. Misalnya ketika dia menggambarkan tokoh haji sebagai tuan tanah yang korup. Tapi bagaimanapun, itu memang kelihatan juga telah mempengaruhi semua pandangannya terhadap agama, yang menurutnya seringkali dipakai hanya sebagai alat penindasan.

Sisi yang paling menonjol dari karya-karya Pram adalah identifikasi setiap tokohnya terhadap perjuangan rakyat kecil yang selalu tertindas. Aliran realisme sosialis seperti itu memang kerap menjadi arus besar di masa karirnya.

Pram, Cita-citanya dan Gagasan-gagasannya

Bagi Pram setiap bentuk penindasan harus dilawan. Cita-citanya ini selalu tercermin pada setiap gagasan-gagasan yang tertuang di semua tulisan-tulisannya. Dan karena tulisan-tulisannya yang selalu mengobarkan semangat perlawanan, maka hampir separo hidupnya dihabiskan di dalam penjara. Tiga tahun dalam penjara kolonial, satu tahun ditahan Orde Lama, dan empat belas tahun saat Orde Baru berkuasa.

Tapi penjara tak pernah membuatnya jera. Ia masih terus menulis yang menurutnya adalah tugas pribadi dan nasional. Dan dia sangat konsekuen pada segala akibat yang akan diperoleh di kemudian harinya.

Cita-cita dan gagasan Pram yang cemerlang ada pada tokoh Siti Soendari, anak teman sekolah Minke, yang tinggal di Pemalang. Setelah ditinggal mati ibunya Siti Soendari dibesarkan oleh ayahnya di lingkungan orang-orang yang terpelajar. Selepas dari sekolahnya ia memilih menjadi perempuan merdeka yang bekerja untuk cita-citanya. Dengan sopan dan tetap tegar dia menampik segala bujukan ayahnya yang dipaksa oleh Belanda supaya segera menikahkan anaknya. Dan dia sukses mengatasi rasa takut kepada ayahnya demi mempertahankan cita-citanya, suatu hal yang masih belum dapat diwujudkan oleh R.A. Kartini sebelumnya.

Dalam karya-karyanya Pram selalu menampilkan tokoh revolusi yang menentang segala situasi yang tidak manusiawi, yang datang dari bangsanya sendiri maupun yang datang dari pihak asing .

Feodalisme yang tidak manusiawi bisa dibaca di dalam Bumi Manusia, yaitu ketika Minke, anak bupati yang telah belajar pengetahuan di Eropa, merasa sangat terhina sewaktu bertemu ayahnya, ia harus merangkak dan menyembah. Kolonialisme juga tidak manusiawi karena di samping sistem itu sendiri menindas dan menghisap, ia juga yang melahirkan pegawai yang korup Korupsi> dan polisi pribumi yang mengontrol Minke dan gerakan kebangsaan Rumah Kaca>.

Pram juga mengkritik politik anti-Tionghoa yang diwariskan oleh Belanda. Dalam Hoakiau di Indonesia, ia menggugat perlakuan yang kita berikan pada mereka dan memperlihatkan peran dan kedudukan orang Tionghoa dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Satu sikap yang kemudian mendapat pertentangan dari pemerintah. Buku ini kemudian dilarang dan Pram pun ditahan tanpa proses peradilan.

Bagaimana Kita Memahami Pram?


Dua hal paling penting sepeninggal wafatnya Pram adalah warisannya untuk dunia dan perlakuan bangsa Indonesia terhadap warisan itu. Warisan Pram terbesar adalah rasa cinta mendalam dari berbagai bangsa kepada Indonesia. Sedangkan perlakuan yang paling diharapkan adalah bagaimana warisan itu dapat diterima dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya.

Begitu yang dikatakan Eka Budianta dalam “Menghormati Pram, Bangsa dan Tanah Airnya” <Kompas, 7/5/2006>. Dia pula yang menjaga Pram selama dirawat di rumah sakit disamping kerabat-kerabat yang lain. Bahkan ketika Pram dibawa pulang, dirawat di rumah sampai ajal menjemputnya.

Pertanyaannya adalah: bisakah kita menghormati Pram sebagaimana bangsa-bangsa lain di dunia yang mencintainya? Bersediakah kita menerima semua warisannya tanpa mempersoalkan segala kelebihan dan kekurangan-kekurangannya? Mampukah kita memahami Pram hanya dari sisi ekstrinsiknya saja tanpa mau melongok pada sisi intrinsiknya? Misalnya pada karya-karya sastra yang dihasilkannya.

Tampaknya selama ini kita memahami Pram hanya dari sosoknya, sikap politiknya dan ideologi-ideologinya. Padahal, kalau kita membaca karya-karya dari sastrawan-sastrawan Indonesia, menjelang dan sesudah kemerdekaan Indonesia, hampir semuanya tidak bisa lepas –atau tidak mau melepaskan diri dari persoalan politik.

Pram memang pernah salah dalam melangkah, tetapi itu lebih disebabkan karena perbedaan konsep berkesenian di antara kubu Lekra yang dikomandoinya, dan HB. Jassin dengan Manifes Kebudayaannya.

Tapi Pram adalah pengarang besar yang dimiliki Indonesia. Ia juga menggetarkan dunia melalui kata-katanya. Dari tangan dan nuraninya mengalir kata-kata yang memiliki kekuatan luar biasa, menukik ke setiap jiwa yang selalu mencintainya. Ia menulis dengan bahasa yang sederhana, menggunakan riset dan data-data sejarah, maka karya-karyanya pun selalu dibaca, tidak saja oleh masyarakat Indonesia, tapi juga oleh masyarakat dunia. Dia dicerca oleh lawan-lawannya tapi sekaligus dipuja oleh generasi mudanya. Dia menjadi legenda karena produktivitasnya dan juga gagasan-gagasannya yang disumbangkannya kepada dunia.

Lewat tulisan-tulisannya, Pram tak hanya mengenalkan dirinya dan karya-karyanya pada dunia, tapi ia juga telah mengenalkan negerinya, dan terutama sastra Indonesia.

Maka ketika saya membaca salah satu makalah yang ditulis oleh Prof Dr Th Sri Rahayu Prihatmi, dan kemudian argumen yang senada juga disampaikannya dalam diskusi, beliau entah karena kesengajaan atau tidak, telah melakukan pengingkaran terhadap fakta dengan mengatakan bahwa kemajuan dunia sastra Indonesia justru merupakan buah ketidakberhasilan kelompok Lekra. Pendapat semacam ini sama sekali tidak benar. Sebab kenyataannya karya-karya Pram dibaca oleh dunia, melintasi beberapa negara dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Ini adalah kemajuan yang luar biasa bagi sastra Indonesia. Padahal secara psikologis saat itu Pram dalam tekanan penguasa.

Lalu bagaimana kita memahami Pram sebagai sosok manusia biasa yang juga tak luput dari khilaf dan dosa? Jika semasa hidupnya ia selalu dicerca oleh orang-orang yang berseberangan dengannya, masihkah kita akan menghujatnya di saat orangnya sudah tidak ada? Menghabiskan energi dan potensi kita dengan berdiskusi dan berwacana, yang hasilnya hanya mengorek-orek perilaku masa lalunya yang tak sejalan dengan kita?

Kita semestinya harus mulai belajar untuk menilai karya sastra yang tidak berdasar rasa senang atau tidak senang kita yang subyektif terhadap penulisnya, tapi penilaian yang obyektif, dengan menilai sastra dari dalam karya sastra itu sendiri.

Tapi Pram kini sudah tiada, tapi ia juga tak pernah selesai diperdebatkan. Bisakah kita memahaminya tidak sebatas pada perilakunya yang arogan, sikap politisnya yang selalu melawan, atau identitasnya sebagai orang yang pernah menjadi anggota sebuah organisasi seniman yang berafiliasi pada partai komunis ? Mampukah kita bersikap seperti A. Teeuw, seorang kritikus Belanda yang konon pernah dikecam Pram, tetapi mau mencalonkannya sebagai salah seorang calon penerima Nobel Sastra.

Di luar itu semua, Pram tetap seorang teladan. Ia mampu berdiri sebagai dirinya sendiri. Kejujuran dan ketelanjangan perasaannya mampu menggetarkan dunia. Dan ia tetap dipuja, sampai hari ini.




*Esais adalah cerpenis, salah seorang peserta
diskusi
“Membaca Pramoedya Ananta Toer dari Segala Sisi”, tinggal di Ungaran

Tidak ada komentar: