Kamis, 08 Mei 2008

Menulis Cerita, Mengangkat Realita

(Membedah buku kumpulan cerpen ‘Bidadari Meniti Pelangi’, S. Prasetyo Utomo)


Esai Nirwondo El Naan


ADA satu keasikan pada saat saya membaca kumpulan cerpen ‘Bidadari Meniti Pelangi’-nya S. Prasetyo Utomo. Saya begitu larut bahkan seperti melebur masuk dalam cerita itu sendiri. Apa yang saya baca adalah apa yang saya lihat, juga saya merasakan, pahit manisnya kehidupan. Dunia adalah tempat yang layak untuk berdiam. Tapi ketika kehidupan menyuguhkan penderitaan-penderitaan manusia mulai melakukan pengingkaran. Tak berani menerima kenyataan. Lalu melakukan perlawanan yang kadang semakin menjauh dari kebenaran.

Prasetyo mengungkap kebenaran. Menulis cerita, mengambil beberapa lembar dari sekian banyak lembar hidup dan kehidupan. Disusun menjadi kerangka-kerangka lalu diolah menjadi bangunan sebuah cerita yang apik dan menawan. Pengungkapannya sederhana akrab dengan keseharian kita tapi tetap memesona.

Sebagai misal, cerpen Bidadari Meniti Pelangi, mengangkat pergolakan batin manusia yang kerapkali merongrong perasaan kita. Kecemburuan, pengkhianatan, ketertarikan secara emosional seringkali kita jumpai dalam keseharian. Saya tidak sedang berbicara tentang realisme eksotis atau apa namanya dalam aliran kesusastraan. Bagi saya nilai sebuah karya sastra adalah pada saat sudah berada pada pembacanya. Baik atau buruk pembacalah yang berhak menentukan. Semakin banyak kritik –yang memuji atau juga seringkali mencela- semakin menunjukkan keberhasilan si penulis dalam menuangkan ide-idenya.

Pergulatan hidup bahkan kehidupan yang terenggut memaksa Kang Karli berjalan dalam kegamangan bahkan samar-samar. Dalam kekukuhan hatinya ia merasa masih punya hak atas tanah warisan leluhurnya, tapi dalam ketidakberdayaannya ia harus rela melepaskan apa yang telah menjadi haknya. Kang Karli kehilangan pekerjaan. Di tengah serbuan para pendatang ia menjadi pencuri kecil-kecilan untuk bertahan hidup. Bahkan teman-temannya menganggap Kang Karli sebagai perusuh. Ia menjadi rapuh. Begitu kira-kira yang saya tangkap dalam cerpen ‘Perusuh’.

Tidak sedikit kita menjumpai karya sastra realis. Bahkan sekitar pertengahan abad ke-20 tema-tema seperti ini banyak mendapat perhatian dari para sastrawan. Ketika di Indonesia terjadi pergantian kepemimpinan, selalu pula terjadi pergolakan, demonstrasi, pertumpahan darah, tragedi kemanusiaan, pelanggaran HAM dan yang lain-lainnya. Di sini peran serta seniman kelihatan. Mereka tidak turun ke jalan, meneriakkan yel-yel atas nama kemanusiaan. Tapi mereka ikut berjuang. Mengungkap fakta, membaca realita, mengangkatnya menjadi karya sastra. Tetapi tidak semua karya sastra adalah pembenaran atas segala peristiwa.

Membaca keseluruhan cerpen-cerpen Prasetyo, seperti menelusuri riwayat hidup orang-orang yang selalu dikalahkan dan pada akhirnya selalu disalahkan. Kepasrahan manusia dalam berhadapan dengan takdirnya sekaligus obsesinya untuk melampaui keterbatasan-keterbatasan yang ada pada dirinya.

Tokoh-tokoh pada cerpen Prasetyo memang selalu kalah oleh terpaan badai takdirnya, tetapi sekaligus juga mampu mengalahkan kekalahannya sendiri dengan melakukan sebaik-baiknya perlawanan pada permainan nasib. (Seperti seorang dewi yang penuh kesabaran, penuh pengampunan, Sekar menahan kemurkaannya. Dia tak menghukum suaminya. Tak menghukum adik perempuannya. Kutipan dari ‘Tercium Harum Tubuh’ halaman 103). Keputusan yang tidak tergesa-gesa sekalipun getir kedengarannya. Sekar telah mampu mengalahkan kebenciannya. Ia lawan kemarahannya dengan kelembutan perempuannya. Ia memaafkan kesalahan perselingkuhan suami dan adik perempuannya dengan pertimbangan moral yang bebas.

Pada cerpen-cerpen Prasetyo cerita selalu merupakan kisah tentang dahsyatnya kekuatan-kekuatan heroik yang cara penceritaannya mengesampingkan idiom estetik. Karut-marut jaman yang penuh daya-dera yang menggilas, tetapi telah gagal menghentikan manusia untuk tidak bertindak semaunya, diungkapkan dengan pemahaman yang sederhana dari mendengar atau memandang realita sehari-hari. Mungkin ia ingin mengatakan: hidup akan terus berjalan sesuai dengan keinginannya, dan perjuangan manusia untuk mengangkat harkat kemanusiaannya tidak akan pernah terpadamkan.

Kepedulian pengarang pada nasib orang-orang yang selalu terkungkung oleh penderitaan akibat kekerasan dan penindasan telah memunculkan tokoh-tokoh yang selalu melakukan pergulatan, baik pada nasibnya atau terhadap diri sendiri. Peristiwa-peristiwa yang kerap terjadi di sekelilingnya, keterpesonaannya pada kehidupan yang tetap bersahaja menjadi inspirasi pada karier literernya. Dengan imajinasinya berusaha menggali dari alam bawah-sadarnya, diserap kemudian diolah kembali dengan beragam kisah dalam cerita-ceritanya.

Sering kita membaca karya sastra secara menyeluruh untuk menemukan nilai, atau maksud yang hendak disampaikan pengarang, tetapi gagal karena ide yang ingin disampaikan tidak jelas. Pretensi yang berlebihan, penghamburan kata-kata seringkali menghasilkan cerita yang tidak bernas. Prasetyo telah membebaskan diri dari kesuntukan yang berlarut-larut mengeksplorasi idiom estetik yang sempit dan mencoba menggapai bermacam persoalan yang lebih luas, yang memungkinkan wilayah penciptaannya melebar jauh melampaui batas-batas. Meskipun, seperti yang dikatakan dalam pengantarnya dalam buku kumpulan cerpen ini –juga ketika saya bertandang di sebuah SMU yang dikelilingi pohon-pohon perdu dan rumpun bambu, tempat Beliau mengajar- melalui pencarian yang panjang.

Jika kita membaca kumpulan cerpen ini dari awal sampai akhir, kita akan menjumpai Prasetyo yang telah menemukan dunianya sendiri. Sebuah usaha pencarian jati diri, menurut istilahnya. Ia menulis dengan bahasa yang sederhana, mudah dicerna, tanpa pretensi, tanpa pembaruan dalam khasanah kesusastraan. Ia menggunakan riset dan pengalaman batin yang selalu menggoda imajinya, kemudian melalui proses kreatifnya mengalirlah kata-kata yang memiliki kekuatan yang menukik menghujam jiwa. Kekayaannya ada pada ide-idenya, bukan pada simbol atau imaji semisal cerpen-cerpen Gus tf Sakai. Produktivitasnya selama kurun waktu dua puluh tahun yang telah menghasilkan banyak karya (cerpen, novel, puisi, esai) telah banyak dipublikasikan media massa lokal maupun nasional, ia patut diperhitungkan.

Selama dua puluh tahun itu, Prasetyo tetap tegar bertahan dalam nafas dan warna karyanya. Kita bisa melihat warna itu selain dalam kumpulan ini, juga pada setiap cerpen-cerpennya yang muncul baik di Kompas, Suara Merdeka, ataupun Wawasan. Sebuah identitas bukan sebuah alih cara setiap menghadapi trend baru. Trend dalam konteks ini dimaksudkan sebagai gaya kepenulisan atau model yang tengah populer dan biasanya diminati dalam satu periode musim tertentu.

Prasetyo adalah bagian dari alam penciptaannya. Ia dan karya-karyanya tak bisa terpisahkan dari setiap denyut kehidupan manusia dan jamannya. Ia terus mencari, menemukan dan mengubah setiap denyut itu menjadi cerita, dengan bahasa, imaji dan kata-kata. Ia terus mencatat dalam proses kreatifnya, mengantar manfaat bagi kehidupan manusia melalui nilai-nilai yang dikemas dalam karya-karyanya.

Menulis cerita adalah mengangkat realita, bukan mengarang sebuah peristiwa. Dan karya sastra, ia bukanlah unikum seni semata, tetapi sebagai produk nilai dan guna. Ia diperlukan manusia. Sebagai penyembuh, potret peristiwa, dan segala yang mempunyai daya guna.

Barangkali sastra tak akan mampu menyelamatkan manusia, tetapi melalui sastra ada dialog yang menjadi mungkin untuk dilakukan. Ada energi untuk melakukan perlawanan. Dan yang paling mungkin pengertian tentang sejarah manusia dan manusia dalam sejarah, dalam konteks ini keharmonisan hubungan manusia dan alam, yang telah terkeping-keping karena kekerasan dan penghancuran. Manusia kehilangan harkat kemanusiaannya, alam kehilangan keindahannya.

Dalam proses kreatifnya, tidak sedikit sastrawan –bahkan hampir sepanjang hayatnya- sastra telah dijadikannya sebagai jalan hidup untuk melakukan perlawanan terhadap kekerasan, ketidakadilan terhadap umat manusia, juga kesewenang-wenangan terhadap alam, yang justru dilakukan oleh manusia.

Sastrawan melawan dengan imaji, bahasa dan kata demi melihat mereka yang teraniaya. Tapi tidak dengan kekerasan. Dengan kekuatan imajinya berusaha menghargai harkat manusia. Berarti juga ikut menentukan harga manusia.

Demikian Prasetyo melihat, merekam, segala peristiwa yang kerap terjadi di sekitar kita. Lalu dengan kelincahannya dalam bercerita ia mengabarkannya kepada kita, para penikmat sastra.




Nirwondo El Naan, cerpenis, tinggal di Ungaran.

Email: kembara_langlang@yahoo.com

Tidak ada komentar: