Kamis, 08 Mei 2008

Pengantin Cahaya

Nirwondo el Naan



JIKA kita berhadapan dengan belantara yang lebat maka yang muncul kemudian di benak kita adalah kelebatan yang menakutkan. Seram. Tapi bagi kami, yang sehari-hari selalu menggembalakan sapi-sapi, hutan sama halnya dengan padang-padang rumput yang selalu memberikan kehidupan.

Setiap hari, sebelum matahari terbit, kami sudah harus pergi meninggalkan desa membawa sapi-sapi kami dan pulang sebelum matahari terbenam. Sapi-sapi kami biarkan berjalan bebas, tidak kami ikat. Sejak kecil kami sudah diajari menjadi gembala-gembala. Sapi adalah satu-satunya jenis ternak yang ada di desa kami. Hampir di setiap rumah memelihara binatang ini.

Seperti gembala-gembala yang lain, pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit, aku menyiapkan segala sesuatu untuk bekal selama menggembalakan sapi-sapi. Kubawa makanan secukupnya. Bumbung bambu ku isi air yang kuambil langsung dari pancuran di bawah bukit. Airnya jernih dan bersih. Pancuran ini selain berfungsi sebagai tempat mandi bagi penduduk desa kami, juga dimanfaatkan untuk keperluan memasak. Ada juga yang percaya bisa digunakan untuk pengobatan.

Di desa kami hanya ada satu padang rumput yang luasnya tidak seberapa. Letaknya di bawah bukit di salah satu lereng gunung berapi. Matahari mulai bergerak naik ketika aku sampai di tempat ini. Sementara binatang-binatang herbivora itu makan rumput-rumput yang masih segar, aku melangkah menuju salah satu pohon yang agak besar. Duduk bersandar dan membuka perbekalan.

***


SETIAP hari aku selalu membawa sapi-sapiku ke tempat ini. Rumput di sini segar-segar. Sapi-sapiku pun tampak senang. Secara naluriah mereka hanya butuh minum dan makan. Untuk keperluan minum mereka aku membawa sebuah ember kecil. Saat mereka asik makan aku mengambil air di sungai di pinggiran hutan. Untuk melakukan pekerjaan ini aku harus menempuh perjalanan sejauh dua kilometer dari tempat sapi-sapiku makan. Untuk beberapa hari aku merasa tenang karena binatang-binatang ini mendapat persediaan makanan.

Lama-lama rumput di sini mulai habis. Kata orang-orang tua di desa kami, gembala harus bisa mengerti binatang yang digembalakan. Maka akupun mengerti, jika rumput-rumput di sini telah habis tentulah tidak baik untuk mereka. Sementara mereka tetap butuh minum dan makan.

Sementara sapi-sapi itu asik merumput, aku berjalan-jalan di sekitar pinggiran hutan. Berharap ada padang rumput baru untuk menggembalakan sapi-sapiku. Sapi adalah binatang yang cerdik. Patuh pada tuannya. Mereka tak akan pergi jauh sekalipun lama aku tinggalkan. Mereka hanya akan pergi atau lari tunggang-langgang bila ada kejadian-kejadian yang berhubungan dengan peristiwa alam. Dalam hal ini naluri mereka jauh lebih tajam dari manusia.

Sampai di pinggiran hutan aku belum juga menemukan padang rumput. Aku hanya menemukan pohon-pohon besar dengan separoh daunnya yang sudah mulai meranggas. Dari bentuk dan keadaannya, pastilah usia mereka sudah sangat purba. Tapi sungguh, tak satu pun penduduk di desa kami yang berani menebangnya.

“Kau mau kemana?” tanya Ki Soka suatu hari ketika aku sudah mulai kebingungan mencari padang rumput untuk makanan sapi-sapiku.

“Mencari rumput di hutan.”

“Kau tidak boleh masuk ke sana! Itu pantangan turun-temurun yang tidak boleh dilanggar.”

“Tapi rumput-rumput di sini telah habis.”

“Jika kau tetap masuk, kau tidak akan menemukan jalan untuk keluar.”

Begitulah yang selalu dikatakan Ki Soka setiap kami bertemu di pinggiran hutan. Tapi gembala yang baik harus tahu keinginan binatang yang digembalakan. Dan mereka hanya butuh minum dan makan.

Maka akupun masuk ke dalam kelebatan hutan. Tak kuhiraukan lagi kata-kata Ki Soka yang selalu memberikan peringatan-peringatan.

***



Tidak ada komentar: